Insecurity

    Aku menatap gelas whisky yang baru diberikan bartender. Menempelkan tangan. Membuat telapak tanganku basah karena embun di badan gelas. Mungkin sepertinya saat ini, dari belakang, ada seorang wanita yang diam-diam mengangkat handphone dan mengambil fotoku. Lalu, meng-uploadnya ke sosial media, dan memberikan caption: "Sendirian banget, Mas?"

Pandanganku mengarah ke lemon yang mengambang di dalam gelas: terombang-ambing tidak jelas di antara es berbentuk kotak.

Kepalaku masih sakit karena terlalu banyak tidur. Hal paling menyebalkan dari patah hati adalah karena tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuatnya sembuh kecuali tidur, dan merasakan sakitnya kembali setelah bangun.

Pikiran-pikiran di kepalaku kian bercabang begitu banyak, dan semuanya saling mengikat satu sama lain.

Seharusnya, pada saat ini, tanganku sudah bergerak meraih gelas. Meletakannya ke depan bibir. Mengalirkan cairan itu ke tenggorokan, merasakan panasnya di dalam.

Atau seharusnya, aku sudah mematikan lampu. Menekan kepala dengan bantal. Menghalau denging yang berisik di telinga hingga berakhir ketiduran.

Tapi sekarang, yang bisa ku lakukan hanyalah memperhatikan kendaraan yang lewat di depan, mencoba menikmati udara malam ini. Meluruskan satu demi satu cabang pikiran di kepala. Mendengarkan setiap bunyi yang ada. Langkah kaki orang di belakang, seorang lelaki tua dengan telephone genggam di telinganya, klakson mobil BMW itu, suara angin saat bus itu akhirnya menyalip kendaraan lainnya.

Sekarang, aku tidak dapat menuangkan whisky kedalam gelas bersamaan lemon lagi. Sekarang, di sebelahku hanya ada sebotol air putih, duduk diantara trotoar putih zebra dipinggirnya. Sekarang, aku hanya bisa memasukkan cairan bening yang terlalu anta tiada rasa ke dalam mulut.

Bagaimana dulu aku melewati perasaan seperti ini?

Kembali mengingat. Memutar ulang memori yang ku punya. Merasakan sakitnya lagi. Bagi beberapa orang, patah hati bisa menjadi baju baja yang membuatnya lebih kuat dari sebelumnya. Bagi beberapa yang lain, patah hati membuat perasaan kita semakin tipis. Rasanya tak bisa diurai tentunya sangat pedih tiap kali patah hati.

Dan setiap kali sembuh, 

Aku takut mengalaminya kembali.

    Aku pun takut tidak bisa jatuh cinta lagi, lalu patah hati lagi, lalu jatuh cinta lagi. Aku takut tidak bisa memberikan perasaan kepada orang lain karena sebenarnya, jauh di dalam hati, kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Tidak ingin merasakan siklus yang seperti itu lagi. 

Mungkin ini yang menyebabkaan semakin dewasa seseorang, kita semakin malas untuk menemukan cinta yang baru cara melewati siklus perkenalan, cara beradaptasi dengan pendekatan diri satusama lain konteks percakapan dan semua harus disesuai kan dari awal lagi.

Aku sebenarnya tidak mengerti dengan diriku sendiri. Terkadang, hal yang begitu kecil bisa terasa sangat, sangat besar dan berarti untukku. Membuatku kecewa begitu saja. Dan semakin aku pikirkan, kekecewaan itu berubah menjadi lubang hitam dan menyedot diriku ke dalamnya, bagai black-hole. Hancur tak teridentifikasi. 

Aku tidak mengerti kenapa aku seringkali bertarung dengan pikiran-pikiran yang aku punya sendiri. Argumen yang satu menyangkal yang lain. Harapan melawan pengalaman pahit. Memori manis dan kehilangan. Realita dan keinginan. Pertanyaan yang setelah dijawab, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain.

Mungkin saat ini dunia sedang memberikan aku sepotong lemon. Dan karena aku tidak punya air whisky, aku hanya akan mengisapnya. Merasakan masamnya dalam-dalam. Perasaan yang sama yang pernah aku alami beberapa tahun lalu. 

Mungkin, semuanya akan lebih mudah jika aku bisa mengontrol pikiranku dan tersadar bahwa air adalah sebuah kebutuhan.


Aku harus melewati ini... 

Comments

Popular Posts