Sya'ir TAKDIR

   Mengapa Saya Terlahir Ada di sini? 


Saya mendapat jawaban berbeda dari guru biologi, dulu. Bahwasannya, manusia lahir karena kehamilan, hasil dari pembuahan antara sel sperma yang bertemu sel ovum, bermetamorfosis menjadi embrio, (janin) dan selama 9 bulan didalam perut, lalu, lahirlah manusia baru–ya, seorang bayi.

    Kemudian, guru agama saya memberikan jawaban yang berbeda lagi, ia mengatakan manusia bisa hadir dan lahir karena berkat Tuhan. Awalnya, hanya ada dua manusia diciptakan Tuhan. Sebab, telah melanggar aturan, dihukum turun ke Bumi. Oleh karena itu, lahirnya manusia juga karena izin Tuhan, Ia beri nyawa untuk seseorang hidup dan hadir di Dunia. Apakah disebut Takdir? 


Pertanyaan Mengapa bisa dilahirkan ke Dunia? Lambat laun berubah menjadi: Mengapa aku harus lahir ke dunia? Apa tujuan aku terlahir di Dunia? Untuk apa aku lahir di Dunia ini?


 Pertanyaan yang awalnya sederhana, menjadi tidak sederhana lagi karena berubah menjadi pertanyaan filosofis, yang menghubungkan ke pemikiran lebih kritis. Pertanyaan pada diri sendiri yang hampir semua orang menanyakannya dalam hidup. Pertanyaan yang menuntut!, jawaban tanpa pernah memberi jawaban memuaskan! 


Diri saya, Anda, Orang tua, Anak dan kekasih serta semua orang, itu bahkan tidak tahu jawabannya untuk apa dilahirkan. Kita itu pasif, tiba-tiba sudah terlahirkan begitu saja di Dunia ini tanpa ada notifikasi (pemberitahuan) apa-apa. 


    Bahkan, kita tidak dapat memilih untuk lahir atau tidak ke Dunia yang penuh kebencian ini dan juga penuh kenikmatan ini. Tapi pada akhirnya, tidak ada gunanya juga memikirkan hal ini, apa yang terjadi, inilah kesedihannya, inilah penderitaanya, inilah kesenangannya, dan inilah realitanya diri saya dan semua eksistensi di Dunia ini.

   Tidak semua orang akan dapat memiliki kehidupan beruntung dan mudah. Perasaan tidak berguna dan hidup tidak ada artinya akan dapat menyerang tiap orang. Krisis eksistensi akan membuat perasaan bertanya-tanya menggerus ruang dan waktu. Sejatinya manusia menalar: Apa hidup ini patut di perjuangkan, atau tidak.

  Tidak seperti meja, sebelum ia lahir diciptakan ia sudah memiliki makna akan eksistensinya, sudah terdapat makna lebih–bahwa ia lahir untuk jadi sebuah alat meletakan barang diatasnya. Hal ini tentu berbeda. Manusia lahir tanpa makna, tidak ada yang menetapkan bahwa ketika ia lahir, untuk menjadi: Doktor, guru, pemuka agama, gelandangan, selebritis, petualang, atau ilmuan, apalagi menjadi seorang pembaca tulisan ini. 


   Apa yang disadari setelah eksistensi itu yang terpenting: Saya tidak perlu menjadi apa-apa, siapa diri saya yang tinggal di debuNya alam semesta? Semesta tidak menutut menjadi apa-apa, tapi fakta diri saya ada di Dunia ini yang harus ku sadari dan jalani. Setelah manusia eksis, ia harus mencari dan memilih makna kehidupannya sendiri.

Kesimpulannya: Irasional, dan cukup subjectif. Begitulah! 


NB: Sebenarnya, saya ingin banyak mengutip pikiran saya saat itu. Lalu saya salin ke dalam tulisan ini. Tapi saya takut, hal itu akan menjerumuskan teman-teman yang menelan mentah-mentah. Di sisi lain, banyak hal yang ingin saya katakan dan mungkin sangat berbahaya jika dikatakan dan mendogma serta merubah pola pikir pembaca awam perfilsafatan. 

Itulah sebabnya, saya tidak memberi paparan yang direct. Oleh sebab itu, akan jatuh pada “pretext dasar orang lain”. Perspektif dan tulisan ini sepertinya juga tidak bisa memberi pemahaman secara langsung, karena sekali lagi. Saya tekankan, harus dipahami langkah-langkah filosofis kepada hubungan filsafat dalam tulisan yang sudah dijabarkan di atas, dan tidak sekadar menerima jawaban yang reduksionis. Karena konsep yang dibicarakan adalah “Tuhan”, dan bukan sekadar benda riil atau imajiner yang bisa diberi klarifikasi secara instan.


Maka, maafkan saya jika tulusan yang saya paparkan begitu kurang maksimal. Terimakasih! 






Comments

Popular Posts